Di tengah hiruk-pikuk klaim kebenaran, spiritualitas lokal seperti Kejawen, Kapitayan, Sunda Wiwitan, atau Kaharingan tetap berdiri tegak, tidak dengan kekuatan kata-kata akan tetapi dengan laku.
Bojonegoro Jatim, Tribuntipikor.com
Ini bukanlah tentang perbandingan. Atau bahkan, membandingkan spiritualitas lokal dengan agama konvensional, adalah seperti membandingkan langit dengan bangunan. Langit tidak terjangkau, tetapi ia bisa dirasakan kekuatan dan ketinggiannya.
Sebuah bangunan mungkin tinggi dan megah, akan tetapi ia butuh fondasi untuk berdiri kokoh. Seperti agama konvensional, terutama agama ‘Samawi yang berakar pada doktrin, teks suci, dan simbol.
Sementara spiritualitas lokal hanya menjalani apa yang disebut dengan kasunyatan, ‘sebuah kebenaran yang mengalir melalui kehidupan, bukan sekedar wacana.
Dengan keberadaan inilah:
Kejawen tidak sibuk menafsirkan Tuhan, karena Tuhan ada dalam setiap daun yang jatuh, setiap hembusan angin. Kapitayan tidak berdebat tentang konsep surga, karena mereka tahu bahwa harmoni dengan alam adalah surga itu sendiri. Sunda Wiwitan tidak memisahkan yang sakral dan yang duniawi karena bagi mereka, semuanya adalah bagian dari kesatuan besar.
Ketika agama konvensional sibuk menjanjikan surga esok hari, spiritualitas lokal menciptakan surga di sini dan sekarang.
Dan, inilah bagian yang sering tidak dipahami:
Bahwa spiritualitas lokal bukanlah “agama.” Mereka adalah cara hidup, refleksi dari hubungan manusia dengan alam dan semesta.
“Spiritualitas lokal adalah cermin yang terlalu jujur. Ia menunjukkan bahwa kebijaksanaan tidak butuh dogma, bahwa harmoni tidak butuh institusi, dan bahwa kebenaran tidak butuh pengakuan.”
Namun, disisi lain, Spiritualitas lokal telah menemukan sesuatu yang masih Agama, ‘cari: kebijaksanaan yang lahir dari kasunyatan, bukan ambisi untuk diakui. (King)
Editorial: Korwil Jatim