TANGERANG – tribuntipikor.com
Kasus dugaan pemalsuan surat dan manipulasi dalam transaksi lahan seluas 20 hektare di Desa Mekarsari, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang, memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang.
F selaku Direktur PT Surya Sel Propertindo, bersama terdakwa lainnya, AS didakwa menggunakan dokumen palsu dalam transaksi lahan tersebut yang merugikan berbagai pihak.
Dalam dakwaan jaksa, kasus ini bermula pada Mei 2021 ketika Drs. F mengajak AS untuk berdiskusi terkait penjualan lahan yang diklaim telah dibebaskan oleh PT Surya Sel Propertindo. Pertemuan digelar dengan saksi Eva Safira, notaris yang mengeluarkan Akta Pelepasan Hak (APH) terkait lahan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Eva mengingatkan bahwa hanya 7 hektare lahan yang memiliki dokumen lengkap dan layak dijual.
Namun, terdakwa diduga tetap melanjutkan transaksi dengan menawarkan lahan kepada PT Unggul Budi Lestari melebihi luas yang tersedia. Kesepakatan harga mencapai Rp 300.000 per meter persegi dengan total transaksi Rp 60 miliar. Pada 26 Juni 2021, akta kuasa untuk menjual lahan diterbitkan oleh notaris Eva Safira atas permintaan Fahmi, yang memberi kuasa kepada Asep untuk menjual dan menerima pembayaran.
Permasalahan muncul ketika PT Unggul Budi Lestari, yang telah membayar sebagian besar harga, mencoba menguasai lahan namun dihadang warga yang menyatakan tidak pernah menjual tanah mereka. Setelah dilakukan verifikasi, ditemukan bahwa dari 207 APH, sebanyak 103 di antaranya tidak dapat diklaim karena lahan tersebut belum pernah dijual.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut beranggapan bahwa transaksi ini diduga dilakukan secara menyesatkan. Jaksa mendakwa F dan AS menyebabkan kerugian bagi pembeli. Fakta persidangan menunjukkan indikasi kuat bahwa beberapa dokumen yang dibuat oleh saksi notaris Eva Safira berisi data yang tidak sesuai dengan kondisi riil lahan.
Tim Penasehat Hukum terdakwa, Kuswara Sastra Permana, S.H., menekankan pentingnya penerapan asas ne bis in idem demi menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi terdakwa. Prinsip ini melarang seseorang diadili ulang dalam kasus yang sudah memiliki putusan tetap.
Dengan alasan asas Ne bis in idem tersebut, oleh penasehat Hukum terdakwa AS telah diajukan dalam eksepsi. Namun, majelis hakim menolak eksepsi tersebut dengan alasan bahwa keberatan tersebut telah dianggap memasuki substansi pokok perkara. Kuswara merujuk pada putusan yang sudah inkrah nomor 147/Pid.B/2023 PT BTN, yang seharusnya menjadi dasar untuk tidak mengulangi proses hukum atas perkara yang sudah diputuskan.
Penerapan asas ne bis in idem penting untuk mendapatkan kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang telah menjalani proses hukum,” tegas Kuswara, sembari mengingatkan bahwa asas ini menjadi landasan bagi kepastian hukum dan keadilan bagi terdakwa. (Red/said )