Beda! 1 Muharram Islam Itu Bukan 1 Sura Jawa

Semarang Jateng, tribuntipikor.com

Hingga sekarang masih banyak orang Jawa yang menganggap bahwa peringatan malam 1 Muharram adalah merupakan peringatan malam 1 Sura Jawa. Padahal 1 Muharram bukan dan berbeda dengan 1 Sura Jawa.

Hal itu disampaikan oleh Ki Hajar Soerjanata dengan nama kecilnya adalah Ratya Mardika Tata Koesoema serta nama panggilannya adalah Ratana Kumaro, pada Jumat Pon 05/08/2022. Pukul 09:09 Wib.
kepada media Tribuntipikor.com dengan duduk santai sambil menikmati kopi pahit, usai sembahyangan malam Jumat Pon dipadepokan Tembayat ikut wilayah kabupaten Semarang Jawa Tengah.

Menurut Ki Hajar Soerjanata ketika menyampaikan dalam wejangannya (Red) cerita, saat dirinya mendengarkan dan/atau menerima wejangan dari almarhum Pamannya, sekaligus merupakan salah satu Gurunya, yang memiliki nama tetua Ki Hajar Soerjabrata, saat itu pada sekitar tahun 1987, dengan nama kecil dan panggilan beliau adalah Toeloes Koesoemaboedaja. Dimana beliau sebenarnya memiliki gelar Kanjeng Raden Mas Haryo (K.R.M.H), tetapi beliau, sebagaimana halnya almarhum Bapak saya sendiri, tidak pernah menggunakan gelar Keningratan tersebut. Ucap Ki Hajar Soerjanata.

Latar belakangnya kenapa bisa begitu, karena almarhum Paman saya itu, Ki Hajar Soerjabrata (Toeloes Koesoemaboedaja) dan almarhum Bapak saya, lahir sebelum 1945, dan turut berjuang dalam era perjuangan Kemerdekaan RI serta mengalami masa perjalanan hidup di masa pemerintahan Bung Karno. Dimana pada saat itu, para pejuang Bangsa Indonesia menentang feodalisme dan bentuk konkritnya adalah menanggalkan atau tidak mau menggunakan gelar-gelar keningratan. Ceritanya.

Tokoh-tokoh yang terkenal di era perjuangan yang menentang feodalisme itu diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusuma, dan lain-lainnya. Sehingga oleh karena itu, almarhum Paman saya dan almarhum Bapak saya sendiri, juga memiliki semangat dan pandangan yang sama, bahwa gelar-gelar keningratan itu sudah tidak seharusnya masih dipasang terus menerus, karena sudah tidak sesuai perkembangan jaman, dan Bangsa Indonesia harus maju kedepan meninggalkan feodalisme. Ulasnya.

Almarhum Paman saya, Ki Hajar Soerjabrata (Toeloes Koesoemaboedaja) yang sekaligus merupakan salah satu Guru saya sendiri tersebut, dahulu semasa masih hidup adalah, Ketua DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) TK I Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 1971, pasca Symposium Kepercayaan dan Munas Kepercayaan di Jogjakarta. Waktu itu nama organisasinya masih SKK (Sekretariat Kerja Sama antar Kepercayaan) Ketua Umumnya Mr. Wongsonegoro. Jelasnya.

Kemudian dalam Konggres HPK ke-V di Kaliurang, Jogja (Desember 1989) almarhum Paman saya tersebut, Ki Hajar Soerjabrata (Toeloes Koesoemaboedaja) terpilih sebagai Ketua Umum HPK periode 1990-1995, tetapi digagalkan oleh oknum DPP Golkar, saat itu dengan alasan tidak direstui Pak Harto, Presiden RI saat itu. Namun meski demikian beliau masih tetap menjabat sebagai Ketua DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) TK I Provinsi Jawa Tengah, hingga akhir hayatnya. Tandasnya.

“Kembali kepada pembicaraan permasalahan 1 Sura Jawa berbeda dengan 1 Muharram*. Lanjut Ki Hajar Soerjanata.

Tanggal 1 Sura Jawa yang asli atau yang sebenarnya itu selalu tetap selamanya, tidak berubah-ubah setiap tahunnya, karena tanggal 1 Sura Jawa itu adalah tepat pada posisi garis edar matahari 23,5 derajat LU (Lintang Utara).

Sedangkan, System Kalender Jawa” berdasarkan peredaran matahari atau (Solar System) dengan posisi garis edar matahari 23,5 derajat Lintang Utara (LU) tersebut jatuh pada tanggal 21 Juni (pergantian ke tanggal 22 Juni) pada pukul 00:00 WIB.

Sehingga ranggal 1 Sura Jawa tepatnya adalah, tanggal 22 Juni, sedangkan Malam 1 Sura Jawa adalah tepatnya jatuh pada tanggal 21 Juni malam hari, setelah jam 17:00 Wib keatas sampai sebelum jam 00:00 WIB. Ungkapnya.

Untuk itu Suro yang dikenal oleh masyarakat umum sekarang ini adalah Sura Mataraman ataySultan Agungan, yang secara resmi diberlakukan sejak mulai 8 Juli 1633 M atau 1555 Saka atau 1 Muharam 1403 H. Ini berlaku untuk seluruh Pulau Jawa, kecuali Banten dan Madura.

System kalender Jawa versi metaraman Islam tersebut didasarkan pada peredaran bulan atau Lunar System, dengan mengawinkan antara kalender Saka Hindu dan Hijriyah Islam, sehingga gara-gara itulah sejak era Mataram Sultan Agungan, 8 Juli 1633 M merupakan tanggal 1 Muharam hingga menjadi dianggap sama atau dipersamakan dengan tanggal 1 Sura Jawa.

“Padahal sebenarya berbeda, dan tidak sama. Jadi, tahun Jawa Islam Mataraman tidak dimulai dari tahun 1, tetapi dimulai dari 1555”. Terangnya.

Diakhir, pada era Paku Buwana ke-VI bertahta, beliau berusaha mengembalikan ke Sistem Kalender Jawa (Pranata Mangsa) akan tetapi masih belum berhasil. Karena Paku Buwana VI keburu ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Ambon hingga meninggal disana. Lalu usahanya diteruskan oleh Paku Buwana VII. Pungkasnya. (Kin)

Reporter: Solikin.gy
Editorial: Solikin.gy

Pos terkait