Menyorot Kembali Terorisme: Urgensi Menatap Spiritualias Pancasila

Oleh Farhat Abbas Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

Jakarta, tribuntipikor.com

Geger dan langsung mengundang spekulasi. Muncul reaksi pro-kontra. Itulah penangkapan terhadap ketiga ulama kondang belum lama ini: Ahmad Farid Okbah, Anung al-Hamat dan Zein an-Najah (Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia) Pusat. Sebuah tindakan hukum yang kemudian menyeret keberadaan institusi MUI. Sebagian publik mendesak agar MUI dibubarkan. Yang perlu kita tatap lebih jauh, sebenarnya ke mana arah penindakan hukum itu? Murni penegakan hukum demi NKRI tetap eksis dan aman dari ancaman teroris, atau ada nuansa politisasi terhadap kalangan tertentu karena berseberangan dengan kekuasaan?

Atas nama kepentingan negara dan bangsa, tentunya kita harus sepakat bahwa terorisme tak boleh diberi ruang sedikitpun. Dalam hal ini kita harus menyatakan opininya dan karenanya perlu membuka literatur sebagai pendekatan yang bijak. Agar lebih obyektif dalam bersikap, bertindak dan beropini. Menurut Encyclopedia of Brittanica – dalam bab social sciences – “Terrorism is the calculated used of violence to creat a general climate of fear in a population and thereby to bring about a particular political objective” (Terorisme adalah penggunaan kekerasan secara sistimatis untuk menciptakan iklim ketakutan penduduk dan dengan demikian menghasilkan tujuan politik tertentu).

Dari definisi tersebut, ada beberapa pokok pemikiran yang dapat kita garis-bawahi. Pertama, penggunaan kekerasan secara sistimatis. Yang mampu melakukan kekerasan seperti itu jelas: dirinya memiliki kekuatan trategis, bisa dalam bentuk persejataan, personal paramiliter bahkan jejaring produk teknologi penghancur secara fisik. Kedua, manakala kekuatan yang dimiliki digunakan — meski hanya diumumkan secara terbuka – maka penduduk akan timbul rasa takut, tidak nyaman. Dan satu hal lagi – sebagai pemikiran ketiga – aksinya bermuatan politik: merebut kekuasaan (makar).

Kini, kita perlu mereview ketiga ulama yang diciduk Tim Datasmen (Densus) 88 Antiteror Polri, apakah mereka bertiga menggunakan kekerasan secara sistimatis? Apakah aksi dan tindakan ketiga ulama tersebut telah mengakibatkan penduduk negeri ini ketakutan dan merasa tak nyaman, ke manapun mereka pergi atau berada? Ketiga unsur tersebut tak ada dalam diri ketiga ulama. Dengan demikian, sejatinya Densus 88 – jika obyektif sikapnya – tak memiliki landasan hukum (mengancam) sistem pertahanan dan keamanan yang melegalisasi penangkapan terhadap ketiga ulama itu.

Sekali lagi, berangkat dari landasan teoritik tersebut itu, maka tampak ada keleliruan mendasar, setidaknya tindakan berlebihan pada penindakan Densus 88 itu. Sebagai ulama, tugasnya menyampaikan dan menyerukan kebaikan, sekaligus mengingatkan sejumlah larangan yang harus dihindari atau tidak dilakukan. Dalam perspektif Islam, sikap itu jelas dititahkan Allah dan Rasul, Muhammad SAW. Amr ma`ruf nahi munkar adalah titah suci yang sarat dengan dimensi penyelamatan umat manusia yang berpengaruh positif bagi keterpeliharaan jagad raya dan seisinya.

Sebagai komitmen reflektif, dirinya menyuarakan pentingnya tatanan hidup berkeadilan, menjunjung tinggi kebenaran dan harus mencegah kedzaliman oleh siapapun, dalam berbagai sektor kehidupan berbangsa. Kedzaliman tak boleh merengkuh hak hidup warga negara dari sisi sosial, ekonomi, politik, hukum bahkan kebudayaan. Manakala seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara itu direngkuh oleh kekuatan siapapun, maka ulama – sebagai pihak yang mendapat pengetahuan tentang duduk perkara keadilan, mana yang benar dan salah, mana baik-buruk – maka sudah selayaknya ulama harus bersuara lantang. Tak boleh diam ketika menyaksikan kemungkaran yang sudah merajalela. Jika diam, justru mereka lebih awal yang diminta pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Sungguh berat tugas dan tanggung jawab ulama. Ancaman hukumannya pun lebih berat disbanding kaum awam.

Yang perlu kita catat, suara lantang itu – dalam diksi bahasa – merupakan ekspresi sikap sungguh-sungguh (jihad). Kesungguhan berikhtiar untuk ikut membenahi keadaan dari keangkara-murkaan merupaan panggilan setiap diri muslim, apalagi yang sudah dalam level ulama (kata plural dariaalim, orang yang berilmu atau berpengetahuan). Karena itu sungguh keliru jika kata jihad yang diserukan ulama selalu diartikan sebagai perang fisik atau memerangi pihak lain (pemeritah, kelompok minoritas atau kelompok yang berbeda keyakinan), sementara komponen berperang secara fisik haruslah memiliki senjata dan personal paramiliter, di samping kekuatan strategis pendukung lainnya.

Yang menjadi masalah adalah mindset (cara pandang) negatif kalangan tertentu yang menilai paradoks terhadap para pihak yang – secara produktif – menyampaikan sikap dan nurani bersihnya yang kebetulan berseberangan dengan kekuasaan. Bagi pihak tertentu, lontaran sikap – meski berpijak pada keterpanggilan kebenaran dan keadilan – akan selalu dinilai mengganggu, bahkan lebih dari itu: menteror. Cara pandang negatif ini harus kita kritisi secara obyektif. Landasannya – di satu sisi – memang sejumlah fakta ketatanegaraan bicara dan sulit dipungkiri adanya sejumlah perilaku kekuasaan dalam bentuk kebijakan atau lainnya yang memang tak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan cita-cita konstitusi kita. Di sisi lain, UUD 1945 itu sendiri menjamin kebebasan berpendapat di muka umum secara lisan atau tulis atau di ruang tertutup.

Mencermati perilaku Ust. Ahmad Farid Okbah yang diciduk itu, kita sama-sama mendapatkan data – setidaknya dari rekaman (video) yang tersiar di arena publik – bahwa beliau terpaksa harus menyampaikan tausiahnya secara terbuka kepada penyelenggara negara yang dinilai sudah jauh dari al-Qur`an, termasuk nilai-nilai Pancasila dan konstitusi. Haruskah disalahkan secara hukum? Meski terlontar kata “jihad”, apakah diksi yang disampaikan mengarah bahkan menimbulkan realitas mobilisasi massa yang mengancam negara? Apakah beliau memiliki perangkat produk persenjataan semacam bom atau aparat keamanan sehingga memang bisa mengancam keberadaan negara dan rakyatnya? Adakah seorang Ahmad Farid Okbah – secara terencana dan rutin – membangun komunike terkait kudeta? Jika ingin berkudeta, apakah dirinya memiliki perangkat militer sebagai kekuatan strategis yang berpotensi berhasilnya sebuah kudeta? Jawabannya clear: tak ada indicator yang mengarah pada penggoyangan terhadap kekuasaan. Jika opininya tetap diarahkan ke penggoyangan kekuasaan, itu hanyalah ilusi. Fatamorgana.

Fakta sosial-politik menunjukkan jelas, diksi “jihad” yang dipakainya lebih mengarah pada membangun kesadaran umat atau bangsa ini untuk menolak praktik-praktik atau cara kekuasaan yang tak lagi sejalan dengan spirtualitas nilai-nilai Pancasila, apalagi ketentuan agama. Sebuah renungan, apakah sikap keberagamaan seperti itu harus digiring ke ketentuan pidana terorisme? Tertalu naif.

Kenaifan itu mengundang spekulasi adanya politisasi terhadap kalangan beragama, atau kalangan manapun yang committed to penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Ketika kita berhasil mendeteksi arah destruktif itu, maka kita dapat menyatakan bahwa kalangan atheis memang itulah aktor sejati di balik manuver politisasi dan kriminalisasi ulama atau siapapun yang getol memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Yang perlu kita catat lebih jauh – dalam perspektif Pancasila – manuver tersebut harus kita catat sebagai penodaan terhadap Sila pertama dan Sila kedua dan Sila ketiga. Sila pertama memiliki spirit bangsa ini untuk keberagamaan, apapun keyakinannya. Salah satu refleksi penting dari Sila pertama adalah kebertuhanannya yang committed to terwujudnya kebenaran, tergaknya keadilan dan sejumlah nilai kebaikan. Untuk misi besar kemanusiaan. Hal ini merupakan ruh penting bahkan menjadi barometer umat dalam beragama, sehingga ketika mengktitik kekuasaan memang tak lepas dari spiritualitas Sila pertama Pancasila itu. Kritik yang dilontarkan untuk saling mengingatkan. Agar bersama-sama selamat. Ada dimensi kasih sayang. Itulah spiritualitas keberagamaan atau kebertuhanan yang luput dimaknai oleh para provokator pembenci ulama dan pengibar nilai-nilai kebenaran, keadilan dan nailai-nilai kebaikan lainnya

Berangkat dari Pancasila itu pula, politisasi dan kriminalisasi terhadap ulama – secara langsung atau tidak – terlihat ada skenario jahat untuk mendeskreditkan dan membenturkan kaum ulama. Arah pendeskreditan itu jelas: mengadu-domba antarumat beragama, bahkan dengan kelompok lain. Seperti kita ketahui bersama, ulama punya jamaah dan tidak kecil secara kuantitatif. Ketika ulama dikriminalisasi, berarti menggiring jamaahnya untuk bersikap (membela). Di sanalah desain konflik terbuka, bisa hanya elitis, bahkan secara horisontal.

Skenario tersebut – jika kita mereview Sila ketiga Pancasila – maka, tidaklah berlebihan jika muncul opini publik bahwa Sila ketiga ini sedang diobrak-abrik spiritnya. Cita-cita besar dari Sila ketiga – yakni terwujudnya persatuan di tanah air ini – secara terencana dan sistimatis sedang diporak-pandakan. Skenario konfliktual itulah indikator utama pemecahan anak bangsa ini.

Jika kita menengok era jelang 1965-an, sejarah mencatat: hanya kalangan komunis di tanah air ini yang demikian gencar mengadu-domba rakyat dengan cara – salah satunya – menyakiti ulama secara fisik, bahkan membunuhnya secara kejam. Merenung tragedi sejarah kelam masa 1965-an itu, maka tidaklah berlebihan jika publik ini beropini bahwa politisasi dan kriminalisasi ulama saat ini memang sedang dimainkan kalangan komunis, meski – secara eksplisit – tidak dalam naungan partai politik. Karenanya tidaklah berlebihan juga ketika kita menilai ada permainan stigma terorisme kepada kaum ulama, terutama yang bersikap tegas dan tak mau berkompromi terhadap pencampuradukan nilai-nilai agama dan Pancasila ke dalam praktik kekuasaan yang kotor.

Skenario jahat itu pula yang mendorong sebagian elemen –termasuk dari barisan muslim – yang demikian bergelora untuk membubarkan MUI. Bagi kalangan yang telah terbius atau terjebak permainan komunis, MUI dinilai sebagai kekuatan strategis umat, setidaknya dari sisi moral. Dan kekuatan ini dinilai sebagai penghalang langkah politik praktis dan utopisnya. Apapun judul atau reasonnya, kelembagaan MUI dinilai sebagai perintang. Cara pandang inilah yang mendorong sebagian elemen bangsa ini memusnahkan entitas kelembagaan yang bernama MUI. Sekali lagi, jika kita memahami Sila pertama Pancasila, sgerakan itu ungguh menodainya.

Akhirnya, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bahwa Pancasila memang telah final. Dari sisi perumusan. Dan dari sisi politik, bukan sisi ideologis. Itulah sebabnya, diperlukan program besar pembumian Pancasila untuk semua elemen bangsa ini, bukan sekedar slogan. Agar bangsa ini terjauh dari praktik menipulasi yang terus mencederai Pancasila bahkan konstitusi. Pembumiannya diharapkan mampu mencegah skenario jahat yang membenturkan kerukunan umat beragama, tercegah praktik hukum yang sejatinya unlawful. Juga, agar komitmen kebersatuan di tanah air ini tidak dirusak oleh kekuatan ideologis tertentu yang bertentangan dengan dasar negara kita. Di sinilah urgensinya menatap spritualitas Pancasila.

Jakarta, 29 November 2021

Pos terkait